Sabtu, 30 Mei 2009

MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI

NAMA : M. YUDI SUHENDAR
NIM : J1D108010
PROGRAM STUDI` : S-1 FISIKA

TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH
(MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI, KAITANNYA DENGAN KONSEP FISIKA DAN MENDUKUNG PRINSIP BIOLOGI)

“MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS), KAITANNYA
DENGAN POLA PEMBANGUNAN PEMUKIMAN DAN BANJIR SEBAGAI MASALAH BERKELANJUTAN”

Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. Oleh karenanya, DAS merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DAS mempunyai arti penting terutama dalam hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya sehingga perencanaan pembangunan daerah hulu menjadi sangat penting dalam manajemen DAS secara keseluruhan..
Banjir merupakan permasalahan yang sudah biasa terjadi di DAS. Banjir terjadi akibat adanya perubahan sistem DAS yang kontinu dimulai dari wilayah upstream (hulu) - downstream (bagian tengah) – middlestream (hilir) yang signifikan. Menurut Sinukaban (2007), sebagai contoh adalah banjir yang biasa terjadi di Jakarta adalah karena penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak terserap tanah, tetapi mengalir di permukaan tanah, lalu langsung masuk ke sungai. Sehingga banjir merupakan fenomena yang harus ditangani secara menyeluruh dalam suatu DAS.
Pada kenyataannya, pola tata ruang pada banyak DAS di berbagai wilayah Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan (DAS Barito) memang masih mengalami banyak masalah. Peningkatan alih fungsi lahan menjadi daerah pemukiman semakin meningkat sementara luas kawasan hutan sebagai penyangga DAS semakin terdegradasi dari tahun ke tahun sehingga terjadi konversi lahan yang semakin tinggi. Berdasarkan data terakhir, luas daerah permukiman sub-DAS secara rata-rata semakin meningkat dari tahun 1981 sebesar 5 % dan terakhir tahun 2001 sebesar 27 % (Hermawati, 2006).
Untuk kasus DAS Ciliwung, banyak pendatang, terutama dari Jakarta, yang membangun villa atau rumah peristirahatan di sana. Pembangunan-pembangunan tersebut menyebabkan daerah resapan air berkurang padahal curah hujan di Bogor termasuk tinggi. Selain adanya pembangunan rumah, baik rumah tinggal maupun villa, tingginya biaya hidup menyebabkan wilayah hutan di hulu sungai Ciliwung terancam.
Berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan hutan dan konversi lahan mengakibatkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah namun mengalir deras di batang sungai Ciliwung, dari hulu menuju hilir. Padahal, DAS Ciliwung di daerah hulu tidak terlalu lebar, apalagi jika ditambah dengan adanya penyempitan akibat pembangunan. Maka hal tersebut dapat menyebabkan air hujan meluap ke wilayah sekitar. Akhirnya banjir dan longsor di daerah hulu akan terjadi.
Di sisi lain, teknologi pengairan untuk daerah pemukiman di DAS Ciliwung sudah cukup canggih dengan menggunakan mesin pompa air (jet-pump). Ditambah lagi dengan kondisi pemukiman sangat padat terkonsentrasi di sekitar DAS, bahkan terdapat beberapa orang penduduk yang mendirikan rumah di bantaran sungai akibat semakin terbatasnya lahan untuk pemukiman. Dengan keberadaan pohon-pohon di sekitar DAS hulu Ciliwung wilayah bawah yang semakin sedikit, maka membuat tingkat penyerapan air menjadi buruk karena kepadatan pemukiman dalam bersaing menyerap air tanah yang ada.

DAS BARITO SEMAKIN KRITIS, 13 TITIK BERPOTENSI BANJIR
Sebagai perbandingan, kondisi DAS Barito juga semakin kritis akibat pembalakan hutan dan konversi penutupan lahan yang dulunya hutan menjadi permukiman dan pertambangan. Kondisi ini menyebabkan 13 titik di Kalsel berpotensi banjir. Terlebih saat curah hujan tinggi seperti sekarang ini. Kepala Balai Pengelolaan DAS Barito Kalsel, Eko Kuncoro mengungkapkan, 13 titik tersebut adalah Tabukan (Batola), Amuntai Selatan, Babibrik dan Sungai Pandan (HSU), hampir seluruh wilayah HSS, Kabupaten Banjar, Kintap, Bati-Bati, Pelaihari (Tala), Satui, Kelumpang dan Batulicin (Tanbu), Pulau Laut Selatan dan Pulau Laut Utara (Kotabaru).
Bencana banjir di sebagian wilayah Kalsel termasuk bencana alam yang hampir pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Bencana banjir ini ditentukan oleh banyak hal yang merupakan bagian dari karakteristik wilayah dan masyarakat Kalsel itu sendiri. Pertama, karakteristik DAS dari aspek biogeofisikal yang mampu memberikan ciri khas tipologi DAS tertentu. Kedua, aspek meteorologis-klimatologis, terutama karakteristik curah hujan yang mampu membentuk badai atau hujan maksimum. Ketiga, aspek sosial ekonomi masyarakat, terutama karakteristik budaya yang mampu memicu terjadinya kerusakan lahan DAS, sehingga wilayah DAS tersebut tidak mampu lagi berfungsi sebagai penampung, penyimpan, dan penyalur air hujan yang baik (Kliping WALHI Kalsel, Desember 2008).
Sebagaimana kasus DAS Ciliwung di Jakarta, aktivitas di daerah hulu sering dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Seperti pada DAS Barito, daerah hulunya telah terjadi konversi penutup lahan yang cukup signifikan dari hutan ke tambang. Sehingga air hujan yang jatuh tidak akan ditangkap oleh kanopi dan diresapkan secara perlahan ke dalam tanah, lalu ditampung oleh akar. Tapi air langsung menjadi over land flow atau limpasan karena tanah tambang biasanya dikupas hingga ke batuan induknya (bed rock). Limpasan ini kemudian masuk ke alur sungai. Karena cukup banyak, maka tidak tertampung dan sebagian meluap, sehingga mengakibatkan banjir di beberapa daerah seperti Kabupaten Tabalong, Balangan bahkan hingga Hulu Sungai Utara.
Sebagaimana wilayah Kabupaten Banjar, potensi banjir juga diakibatkan oleh hujan yang turun terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga Waduk Riam Kanan akan semakin penuh. Guna menghindari jebolnya waduk yang cukup dimakan usia tersebut, dibukalah pintu-pintu air di daerah bawahnya. Akibatnya, Kecamatan Karang Intan dan Martapura akan tergenang, karena badan sungai tidak mampu menampung air tersebut (klipinglainnya.blogspot.com).
Sedangkan di Tanah Bumbu dan Tanah Laut, banjir berpotensi akibat adanya arus pasang air laut, sehingga air sungai dari hulu tidak akan lancar atau terhambat di muara sungai. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab bencana banjir di dearah ini.
Di Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan, ancaman banjir disebabkan Sungai Negara yang merupakan salah satu anak Sungai Barito telah mengalami pendangkalan yang cukup signifikan, sehingga kurang mampu lagi menampung air dari daerah hulu. Hal ini menyebabkan HSU dan sekitarnya akan tergenang bila sungai ini meluap.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kliping WALHI Kalsel : DAS Barito Semakin Kritis, 13 Titik Berpotensi Banjir@ klipinglainnya.blogspot.com, diakses 27 Mei 2009.

Hermawati R. 2006. Pola Spasial Perkembangan Permukiman dan Kaitannya Dengan Jumlah Penduduk (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selasa, 26 Mei 2009

Foto-foto dan Citra Satelit via Google Earth (pelengkap tugas mata kuliah PLLB, deskripsi lahan basah)






























TUGAS PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH (DESKRIPSI LAHAN BASAH)

NAMA : M. YUDI SUHENDAR
NIM : J1D108010
PROGRAM STUDI : FISIKA
E-MAIL : YUDI.FISIKA@GMAIL.COM

TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH
DOSEN PENGASUH : PAK KRISDIANTO
BLOG : http://kgroup-center.blogspot.com

PULAU KAGET, GAMBARAN DAN HARAPAN FUNGSI LAHAN BASAH SEBAGAI DAERAH CAGAR ALAM

Pulau Kaget merupakan sebuah delta yang luasnya kurang lebih 200 ha dan terletak di muara Sungai Barito. Sebagian dari pulau ini (yaitu 85 ha) ditetapkan menjadi Cagar Alam (CA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 701/Kpts/Um/11/1976 tanggal 6 Nopember 1976 jo. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 337/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999. Dengan penetapan ini, CA Pulau Kaget merupakan salah satu dari 3 cagar alam di Provinsi Kalimantan Selatan (catatan: cagar alam lainnya adalah CA Gunung Kentawan dan CA Teluk Kelumpang, Selat Laut, Selat Sebuku).
Kawasan ini secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Barito Kuala, Kecamatan Tabunganen. Waktu tempuh dari Kota Banjarmasin menuju lokasi adalah ± 15 menit dengan memakai transportasi air (speed boat), atau ± 1,5 jam dengan memakai trasportasi air (kelotok). Secara astronomis, Pulau Kaget terletak pada koordinat 114°29’55” - 114°30’40” BT, 3°25’12” - 3°26’00” LS. Secara geografis, daerah ini mencakup wilayah seluas 85 ha atau 850.000 m2 dihitung dari garis pantai sampai pemukiman. Secara umum, kondisi fisik kawasan ini dapat dirincikan sebagai berikut.
Topografi : Datar.
Ketinggian : 0 m di atas permukaan laut.
Tanah : Aluvial dengan tekstur tanah umum halus (liat).
Geologi : Batuan dasar berbentuk dari cekungan dari batuan metamorf, permukaan ditutupi oleh kerakal, kerikil, pasir dan lempung.
Tipe iklim : B (Tipe iklim Schmidt dan Ferguson).
Curah hujan : 2.185 mm/tahun (rata-rata).
Kelembaban : 83 % (rata-rata).
Temperatur : 27 ° C (rata-rata).
Sebagai kawasan cagar alam, Pulau Kaget memiliki beberapa jenis pohon dan tumbuhan seperti:
1.Rambai (Soneratia casiolaris)
2.Bakau (Rhizophora Sp.)
3.Api-api (Avicenia Sp.)
4.Nipah (Nipa fraticans)
5.Bakung (Crinum asiaticum)
6.Piai (Acrosticum aureum)
7.Jeruju (Achantus ilicifolius)
8.Pandan (Pandanus tectorius)
Jenis pohon yang paling dominan ialah Rambai dengan Indeks Nilai Penting (INP) 45,1898%, Bakau dan Api-api dengan INP masing-masing 1.6232% (dominan). Binatang yang menghuni Kawasan Cagar Alam Pulau Kaget terdiri dari 10 (sepuluh) jenis yang tergolong dalam dua kelas yaitu:
1.Mamalia :
a.Bekantan (Nasalis larvatus)
b.Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
c.Lutung (Presbitis cristata)
2.Aves :
a.Betet (Psittacula alexandri)
b.Elang Bondol (Haliadus indus)
c.Raja Udang (Halcyon choris)
d.Elang Laut (Inchthyophaga inchtyootus)
e.Burung Kipas (Rhipidura javanica)
f.Trucukan (Pynonotus goiavier)
g.Raja Udang Paruh Bangau (Pelargopsis capensis)
h.Bebek (Denrocygna arcuata)
Sebelum tahun 1995, vegetasi CA Pulau Kaget didominasi oleh rambai (Sonneratia caseolaris), salah satu tumbuhan mangrove yang akarnya mencuat vertikal dari permukaan tanah. Karena daun dan buah rambai merupakan pakan utama bagi bekantan (Nasalis larvatus), tidak mengherankan apabila kemudian CA Pulau Kaget dikenal sebagai surganya bekantan.
Pulau Kaget dan bekantan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan serta menjadi merek dagang Kalimantan Selatan dalam kepariwisataan internasional. Primata berhidung mancung dan endemik Borneo ini mudah sekali dijumpai. Apabila menyusuri pulau dengan klotok (perahu bermotor), kita dengan mudah menyaksikan perilaku alami bekantan, seperti makan daun dan buah rambai, tidur di atas cabang atau ranting, berloncatan dari satu dahan ke dahan lain, atau bahkan terjun dari ketinggian 15 m ke permukaan tanah atau air.
Keadaan demikian berubah sama sekali, setelah peranggasan rambai terjadi. Hampir semua rambai yang tumbuh di daratan dan tepian cagar alam mati. Pemandangan alami menjadi membosankan. Yang tampak dominan adalah pepohonan rambai yang kering kerontang. Walaupun populasi bekantan mencapai 304 ekor (Soendjoto et al., 1998a), perilaku khasnya berangsur-angsur tidak bisa dinikmati. Bekantan ini hanya dapat dijumpai di lantai hutan. Akibatnya, industri kepariwisataan Kalimantan Selatan pun anjlok.
Terdapat dua faktor yang diduga menjadi penyebab peranggasan, yaitu musim kemarau yang panjang dan pencemaran air dari berbagai industri yang ada di sepanjang Sungai Barito. Namun, Soendjoto et al. (1998b) menyatakan bahwa penyebab peranggasan tanaman rambai adalah kelebihan populasi (overpopulation) primata dan sekaligus ketidakmampuan rambai untuk memulihkan diri.
Kompilasi data oleh Soendjoto et al. (1998b) menunjukkan adanya peningkatan populasi bekantan. Pada tahun 1984 terdapat 229 ekor bekantan, pada tahun 1992 terdapat 207 ekor, dan pada tahun 1997 terdapat 304 ekor. Pada tahun 1997 ini tercatat juga primata lain, yaitu lutung Trachypithecus cristatus sebanyak 78 ekor dan monyet ekor panjang Macaca fascicularis 22 ekor (Soendjoto et al., 1998a). Apabila jumlah pakan bekantan 900 g/hari (Soerianegara et al., 1994) dan diasumsikan jumlah pakan kedua primata lainnya sama dengan jumlah pakan bekantan ini, maka jumlah pakan bagi semua primata yang ada di Pulau Kaget adalah 363,6 kg/hari.
Tampaknya jumlah pakan ini tidak dapat dicukupi oleh rambai. Masalahnya, hijauan rambai yang tersedia paling sedikit harus dua kali lipat (atau sekitar 730 kg/hari). Pada sisi lain, rambai yang ada di Pulau Kaget tidak dapat pulih dengan cepat karena adanya gangguan dan masalah fisiologi lainnya (Soendjoto et al., 1998b). Akar rambai terganggu, karena dipotong oleh masyarakat untuk diolah jadi bonggol kok dan tutup botol. Pernafasan oleh akar terhambat, karena adanya penutupan oleh eceng gondok dan lumpur yang semakin menumpuk. Rambai tidak mampu bersaing dengan tumbuhan bawah air untuk memperoleh unsur hara.
Tumbuhan bawah air yang mulai mendominasi daratan CA Pulau Kaget antara lain adalah piai (Acrostichum aureum), nipah, dan bakung (Crinium asiaticum). Umur rambai sudah tua dan peregenerasian tampaknya tidak normal. Di cagar alam ditemukan 51,05% populasi rambai tingkat semai, 1,81% tingkat pancang, 1,70% tingkat tiang, dan sekitar 45% rambai yang berumur 20 tahun ke atas. Semua rambai tingkat semai ini pun hanya tumbuh di tepi cagar alam yang langsung berbatasan dengan air Sungai Barito.
Untuk menyelamatkan bekantan, Departemen Kehutanan mengambil langkah tegas. Pada akhir tahun 1998 sekitar 150 ekor bekantan dievakuasi ke Pulau Jawa (Kebun Binatang Surabaya) dan ke pulau-pulau di Sungai Barito (Pulau Bakut, Pulau Kembang, Pulau Tempurung).
Pada saat ini, perubahan ke arah positif mulai tampak. Walaupun di daratan CA Pulau Kaget tidak dijumpai lagi pepohonan rambai, di sepanjang tepi pulau mulai dari bagian utara, barat, selatan hingga tenggara terlihat pepohonan rambai yang mulai menghijau. Terdapat lebih dari 20 pohon rambai berdiameter di atas 20 cm. Rambai-rambai yang 8 atau 9 tahun lalu masih berada pada tingkat semai kini bertumbuh dan berkembang ke tingkat pancang (tinggi lebih dari 1,5 m) atau tingkat tiang (berdiameter sekitar 10 cm).
Harapan ini tentunya harus mulai disikapi bijaksana. Pertumbuhan rambai yang menggembirakan masih belum bisa disepadankan dengan harapan terhadap kelestarian bekantan. Apakah pepohonan rambai sudah mampu mendukung kelompok bekantan ini? Dan apakah bekantan yang dievakuasi perlu dikembalikan untuk membugarkan populasi yang tersisa di Pulau Kaget atau untuk menghindari terjadinya kawin antar-kerabat dekat (inbreeding)?

Daftar Pustaka :

M. Arief Soendjoto. 2004. Pulau Kaget Mulai Bersemi, Warta Konservasi Lahan Basah Vol.12 No. 3 Juli 2004. Wetlands Internasional : 5-8

Soendjoto, M.A., A. Yamani, M. Akhdiyat & Kurdiansyah. 1998a. Populasi Primata dan Keanekaragaman Jenis Satwa di Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae (50) : 1-9

Soendjoto, M.A., A. Yamani, M. Akhdiyat & Kurdiansyah. 1998b. Telaahan Vegetasi dan Keadaanb Rambai (Sonneratia caseolaris) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae (49) : 51-62

Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra & M. Bismark. 1994. Studi Habitat, Sumber Pakan, dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai Parameter Ekologi dalam Mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat Hutan Mangrove di Taman Nasional Kutai. Bogor: Laporan Akhir Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB.

Senin, 11 Mei 2009

Tugas Pengantar Geofisika (Lintasan Planet)

TUGAS MATA KULIAH
PENGANTAR GEOFISIKA

BEBERAPA BESARAN BUMI















OLEH :

M. YUDI SUHENDAR
J1D108010

















PROGRAM STUDI S1-FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
BANJARBARU
2009
SOAL :
Berikan penjelasan kenapa orbit planet dalam tata surya kita berbentuk elips?

JAWABAN :
Secara matematis dan geometris, penjelasan mengenai ini telah dijabarkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) melalui hukum Kepler I tentang orbit planet, “Lintasan setiap planet ketika mengelilingi matahari berbentuk elips, di mana matahari terletak pada salah satu fokusnya.”
Gambar 1. Lintasan elips planet Gambar 2. Gambaran geometris lintasan planet
(sumber gambar : http://www.gurumuda.com/2008/10)

Pada gambar 2, F1 dan F2 adalah titik Fokus. Matahari berada pada F1 dan planet berada pada P. Tidak ada benda langit lainnya pada F2. Total jarak dari F1 ke P dan F2 ke P sama untuk semua titik dalam kurva elips. Jarak pusat elips (O) dan titik fokus (F1 dan F2) adalah ea, di mana e merupakan angka tak berdimensi yang besarnya berkisar antara 0 sampai 1, disebut juga eksentrisitas. Jika e = 0 maka elips berubah menjadi lingkaran. Kenyataanya, orbit planet berbentuk elips alias mendekati lingkaran. Dengan demikian besar eksentrisitas tidak pernah bernilai nol. Nilai e untuk orbit planet bumi adalah 0,017. Perihelion merupakan titik yang terdekat dengan matahari, sedangkan titik terjauh adalah aphelion (http://www.gurumuda.com).
Lebih lanjut, penjelasan ini dilengkapi lagi dengan hukum Kepler 2 yang menyatakan, “Luas daerah yang disapu oleh garis antara matahari dengan planet adalah sama untuk setiap periode waktu yang sama.
Gambar 3. Kesamaan luas juring elips pada posisi aphelium dan perihelium
(sumber gambar : http://www.gurumuda.com/2008/10)

Juga dengan hukum ke-3 yang menyatakan, “Kuadrat waktu yang diperlukan oleh planet untuk menyelesaikan satu kali orbit sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet-planet tersebut dari matahari. “ Hukum ini bisa menjelaskan kenapa planet yang letaknya lebih jauh dari matahari memiliki periode orbit yang lebih panjang dari planet yang letaknya lebih dekat.

Gambar 4. Ilustrasi ketiga hukum Kepler dengan dua orbit planet.
(Sumber : http://wapedia.mobi/ms/)

Namun Kepler tidak mengetahui alasan mengapa planet bergerak dengan cara demikian. Di lain waktu dan kesempatan, ketika mulai tertarik dengan gerak planet-planet, Newton menemukan bahwa ternyata hukum-hukum Kepler ini bisa diturunkan secara matematis dari hukum gravitasi universal dan hukum gerak Newton. Newton juga menunjukkan bahwa di antara kemungkinan yang masuk akal mengenai hukum gravitasi, hanya satu yang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang konsisten dengan Hukum Kepler.
Hukum gravitasi universal : Fg = G m1m2
r2
Hukum gerak Newton : F = m.a
Percepatan yang berlaku pada gerak melingkar pada revolusi planet adalah percepatan sentripetal, maka kedua persamaan itu menjadi :
G m1m2 = m. v2
r2 r
dengan m1 adalah massa planet, m2 adalah massa matahari (bintang induk), r adalah jarak rata-rata planet ke matahari, dan v laju rata-rata planet pada orbitnya.
Jika ditinjau kembali ke proses terbentuknya tata surya berikut objek-objek di dalamnya, mungkin dapat dipahami mengapa orbit lintasan planet ini berbentuk elips. Secara fisis dan teoritis, hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh gravitasi pada awal pembentukan tata surya, baik gravitasi objek-objek di dalam maupun yang diluar tata surya. Gravitasi mendapat perhatian lebih pada kasus ini karena gaya ini mengatur gerak seluruh obyek di alam semesta, dari yang seukuran partikel terkecil hingga bintang masif dan galaksi-galaksi (http://human-earth.blogspot.com)
Dalam proses terbentuknya tata surya, dikenal berbagai macam teori. Diantaranya yang paling banyak diterima adalah teori kabut (nebula). Teori ini menyatakan tata surya pada awalnya adalah gumpalan kabut yang berputar dengan kecepatan sangat lambat sehingga lama-lama suhunya menurun dan massanya terkonsentrasi di bagian pusatnya. Selanjutnya cakram ini berputar semakin cepat sehingga pada pinggiran cakram membentuk gelang-gelang gas yang memisahkan diri keluar cakram. Pada beberapa posisi di gelang-gelang gas tersebut terdapat massa yang terkonsentrasi yang kemudian memadat dan mendingin membentuk planet. Sementara massa di bagian tengah cakram menjadi matahari (http://rudilies08.wordpress.com)
Jika dicermati, pada awal pembentukan tata surya ini, bukan tidak mungkin ada pengaruh dari objek-objek di sekitar tata surya terhadap objek-objek di dalamnya. Terutama pengaruh gravitasi dari bintang tetangga matahari yang dulu berada pada posisi cukup dekat dengan matahari. Bintang menjadi objek astronomi yang paling mungkin memberikan gangguan terhadap sistem benda langit seperti tata surya karena massanya yang cukup massif dan sebanding dengan matahari sehingga gravitasi yang diberikannya pun cukup untuk mengimbangi gravitasi matahari. Seperti yang telah diketahui, bintang tetangga matahari terdekat adalah alpha centaury. Alpha Centauri sendiri adalah sebuah sistem 3 bintang yang terdiri dari Proxima Centauri, Alpha Centauri A dan Alpha Centauri B. Ketiga binatang ini sekarang berjarak sekitar 4,2 – 4,3 tahun cahaya dari matahari.
Berdasarkan pengamatan, selama ini alam semesta bergerak memuai sesuai dengan adanya ingsutan merah pada spektrum bintang dan galaksi yang diamati (http://www.e-smartschool.com). Berarti sistem bintang Alpha Centauri ini juga bergerak menjauhi matahari. Jika 4,6 miliar tahun yang lalu merupakan masa yang diperkirakan sebagai awal pembentukan alam semesta ini, maka seberapa jauh mereka dengan matahari kita pada sedikit masa sesudah itu? Untuk mengetahui ini, dapat dilakukan perhitungan dengan memasukkan variabel kecepatan cahaya yang 3 x 108 m/s. Yang jelas lebih dekat dibandingkan dengan jarak sekarang. Bisa saja selama proses pembentukan tata surya, dengan jarak yang cukup dekat, gravitasi dari sistem bintang Alpha Centauri turut memberikan pengaruh pada bentuk lintasan calon planet dalam tata surya. Hasil akumulasi dengan gravitasi matahari menyebabkan lintasan planet yang berbentuk elips dimana salah satu fokusnya lebih jauh dari matahari.
Juga perlu ditinjau pengaruh dari posisi matahari di galaksi Bima Sakti. Sistem Tata Surya kita terletak sedikit lebih jauh dari setengah lengan yang keluar dari pusat spiral galaksi, kira-kira 32.000 tahun cahaya dari pusat galaksi. Dengan posisi seperti ini, maka pengaruh akumulasi gravitasi dari benda-benda langit di sekitar matahari pun berbeda (www.harunyahya.com).
Gambar 5. Posisi Matahari di Galaksi Bima Sakti
(Sumber : www.harunyahya.com )
Objek-objek yang terdapat di bagian tengah galaksi merupakan bintang-bintang yang sangat tua. Karena ukurannya yang besar, massa bintang-bintang ini juga sangat massif sehingga tarikan gravitasinya pun lebih besar. Selain itu, di bagian ini juga terdapat objek-objek massif lain seperti lubang hitam (blackhole), dan bintang neutron. Kuasar (pembangkit energi galaksi) yang tersusun atas lubang hitam supermassif juga ada di bagian dalam galaksi. Karena itu, akumulasi tarikan gravitasi di bagian setengah lengan yang ke dalam pusat galaksi tentu lebih kuat daripada di setengah lengan yang ke luar. Karena itu, lintasan planet-planet dalam tata surya yang pada awal pembentukannya mendapat pengaruh ini menjadi “agak tertarik” ke arah dalam lengan, walaupun masih tertahan pengaruh gaya gravitasi matahari yang lebih kuat karena jauh lebih dekat daripada objek-objek massif di bagian dalam galaksi. Seandainya sedikit saja terjadi ketidakseimbangan dalam akumulasi tarikan gravitasi ini, maka planet-planet di tata surya ini, termasuk Bumi akan terhisap oleh matahari, atau justru tersedot ke arah dalam galaksi.

Gambar 6 :Gambaran kecondongan gerakan planet
terhadap posisi di dalam galaksi
(Sumber : www.harunyahya.com)
DAFTAR PUSTAKA

http://human-earth.blogspot.com, diakses 10 Mei 2009
http://rudilies08.wordpress.com, diakses 10 Mei 2009
http://wapedia.mobi.ms, diakses 9 Mei 2009
http://www.harunyahya.com, diakses 10 Mei 2009
http://www.e-smartschool.com, diakses 10 Mei 2009
http://www.gurumuda.com, diakses 9 Mei 2009





Tugas Pengantar Geofisika (Seismik)

TUGAS MATA KULIAH
PENGANTAR GEOFISIKA

METODE SEISMIK GEOFISIKA














OLEH :

M. YUDI SUHENDAR
J1D108010


















PROGRAM STUDI S1-FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
BANJARBARU
2009

Pendahuluan
Metode seismik merupakan salah satu metoda geofisika yang sering digunakan untuk eksplorasi sumber daya alam dan mineral yang ada di bawah permukaan bumi dengan bantuan gelombang seismik. Eksplorasi dengan menggunakan metode seismik ini banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan pertambangan untuk melakukan pemetaan struktur di bawah permukaan bumi agar bisa melihat kemungkinan adanya kandungan mineral atau logam di bawah permukaan berdasarkan interpretasi dari penampang seismiknya.
Dalam metoda seismik, pengukuran dilakukan dengan menggunakan sumber seismik (ledakan dinamit, vibroseis dll) untuk memberikan rangsangan getaran pada objek (daerah) yang diteliti. Sumber seismik lainnya adalah palu godam (sledgehammer) yang dihantamkan pada pelat besi di atas tanah. Respons yang tertangkap dari tanah diukur dengan sensor yang disebut geofon, yang mengukur perambatan gelombang getaran terhadap pergerakan bumi. Setelah rangsangan diberikan, maka akan terjadi gerakan gelombang di dalam medium (tanah/batuan) yang memenuhi hukum-hukum elastisitas ke segala arah dan mengalami pemantulan ataupun pembiasan akibat munculnya perbedaan kecepatan. Kemudian, pada suatu jarak tertentu, gerakan partikel tersebut direkam sebagai fungsi waktu. Berdasar data rekaman inilah dapat ‘diperkirakan’ bentuk lapisan/struktur di dalam tanah (batuan).
Metode seismik didasarkan pada gelombang yang menjalar baik refleksi maupun refraksi. Ada beberapa anggapan mengenai medium dan gelombang dinyatakan sebagai berikut :
a. Anggapan yang dipakai untuk medium bawah permukaan bumi antara lain :
1. Medium bumi dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan berbeda.
2. Makin bertambahnya kedalaman lapisan bumi, batuan makin kompak.
b. Anggapan yang dipakai untuk penjalaran gelombang seismik adalah :
1. Gelombang seismik dipandang sebagai sinar seismik yang memenuhi hukum Snellius dan prinsip Huygens.
2. Pada batas antar lapisan, gelombang seismik menjalar dengan kecepatan gelombang pada lapisan di bawahnya.
3. Kecepatan gelombang bertambah dengan bertambahnya kedalaman.
Metode seismik sering digunakan dalam eksplorasi hidrokarbon, batubara, pencarian airtanah(ground water),kedalaman serta karakterisasi permukaan batuan dasar (characterization bedrock surface), pemetaan patahan dan stratigrafi lainnya dbawah permukaan dan aplikasi geoteknik. Secara umum, metode seismik terbagi atas tiga bagian penting, yaitu pertama adalah akuisisi data seismik yaitu merupakan kegiatan untuk memperoleh data dari lapangan yang disurvei, kedua adalah pemrosesan data seismik sehingga dihasilkan penampang seismik yang mewakili daerah bawah permukaan yang siap untuk diinterpretasikan, dan yang ketiga adalah interpretasi data seismik untuk memperkirakan keadaan geologi di bawah permukaan dan bahkan juga untuk memperkirakan material batuan di bawah permukaan.

A. Seismik Refraksi
Metoda seismik refraksi mengukur gelombang yang dipantulkan sepanjang formasi geologi di bawah permukaan tanah. Peristiwa refraksi umumnya terjadi pada muka air tanah dan bagian paling atas formasi bantalan batu cadas. Grafik waktu datang gelombang pertama seismik pada masing-masing geofon memberikan informasi mengenai kedalaman dan lokasi dari horison-horison geologi ini. Informasi ini kemudian digambarkan dalam suatu penampang silang untuk menunjukkan kedalaman dari muka air tanah dan lapisan pertama dari bantalan batuan cadas (http://id.wikipedia.org, 26/04/2009).
Mekanisme pengambilan data lapangan yang dipergunakan dalam seismik refraksi adalah mengetahui jarak dan waktu yang terekam oleh alat seismograf untuk mengetahui kedalaman dan jenis lapisan tanah yang diteliti. Dari getaran atau gelombang yang diinjeksikan dari permukaan tanah akan merambat kebawah lapisan tanah secara radial yang di mana pada saat bertemu lapisan dengan sifat elastik batuan di bawah permukaan yang berbeda. Maka gelombang yang datang akan mengalami pemantulan dan pembiasan. Gelombang yang melewati bidang batas dengan sifat lapisan yang berbeda akan terpantul dan terbiaskan kepermukaan kemudian di tangkap oleh alat receiver (geophone) yang diletakkan di permukaan (http://geofisikatambangupn.blogspot.com, 26/04/2009).
Gambar 1. Geometri seismik refraksi
(www.enviroscan.com )

Gambar 2. Pola gelombang seismik refraksi
(www.cyberphysics.pwp.blueyonder.co.uk )


Gambar 3. Contoh Data Seismik Refraksi
(www.earthdyn.com )
Gambar 4. Pola Gelombang Seismik Refraksi pada Layar
(www,aoageophisics.com)


Gambar 5. Interpretasi Data Seismik Refraksi







Gambar 6. Interpretasi Data Seismik Refraksi dengan Perhitungan Matematis











B. Seismik Refleksi
Seismik refleksi adalah metoda geofisika dengan menggunakan gelombang elastis yang dipancarkan oleh suatu sumber getar yang biasanya berupa ledakan dinamit (pada umumnya digunakan di darat, sedangkan di laut menggunakan sumber getar (pada media air menggunakan sumber getar berupa air gun, boomer atau sparker).
Gelombang bunyi yang dihasilkan dari ledakan tersebut menembus sekelompok batuan di bawah permukaan yang nantinya akan dipantulkan kembali ke atas permukaan melalui bidang reflektor yang berupa batas lapisan batuan. Gelombang yang dipantulkan ke permukaan ini diterima dan direkam oleh alat perekam yang disebut geophone (di darat) atau Hydrophone (di laut), (Badley, 1985). Refleksi dari suatu horison geologi mirip dengan gema pada suatu muka tebing atau jurang. Metoda seismic repleksi banyak dimanfaatkan untuk keperluan Explorasi perminyakan, penetuan sumber gempa ataupun mendeteksi struktur lapisan tanah.
Seismik refleksi hanya mengamati gelombang pantul yang datang dari batas-batas formasi geologi. Gelombang pantul ini dapat dibagi atas beberapa jenis gelombang yakni: Gelombang-P, Gelombang-S, Gelombang Stoneley, dan Gelombang Love (http://id.wikipedia.org, 26/04/2009).
Eksplorasi seismik refleksi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu eksplorasi prospek dangkal dan eksplorasi prospek dalam. Eksplorasi seismik dangkal (shallow seismic reflection) biasanya diaplikasikan untuk eksplorasi batubara dan bahan tambang lainnya. Sedangkan seismik dalam digunakan untuk eksplorasi daerah prospek hidrokarbon (minyak dan gas bumi). Kedua kelompok ini tentu saja menuntut resolusi dan akurasi yang berbeda begitu pula dengan teknik lapangannya (http://rudi.staff.uns.ac.id, 27/04/2009).
Gambar 7. Skema Seismik Refleksi
(www.state.nj.us )
Gambar 8. Tampilan Gelombang
Seismik Refleksi
(ensiklopediseismik.blogspot.com )

Konsep Dasar Seismik Refleksi
1.Gelombang Love


2. Gelombang Rayleight





3.Gelombang S (Geser)

4.Gelombang P (Kompresi)

5.Perbandingan antara data seismik 3D dengan Instantaneous Phase 3D



6. Kurva Frekuensi Gelombang Seismik Refleksi


Interpretasi Gelombang Seismik Refleksi
(Analaisis Noise Trace Seismic)




Interpretasi Data Seismik Refleksi

Analisis sekuen seismik
• Stratigrafi sekuen : pembagian sedimen berdasarkan kesamaan genetik yang dibatasi dari satuan genetik lain oleh suatu ketidakselarasan atau bidang non deposisi dan keselarasan padanannya.
• Penampang seismik dibagi menjadi unit-unit sekuen pengendapan.
• Unit-unit sekuen pengendapan dapat diketahui dengan melihat batas sikuen datau pola pengakhiran seismik.
• Erotional truncation : pengakhiran suatu seismik oleh lapisan erosi, merupakan batas sekuen yang paling reliable.
•Toplap : pengakhiran updip lapisan pada permukaan yang menutupinya (karena non deposisi atau erosi minor).
• Downlap : lapisan miring yang berakhir secara downdip pada permukaan horisontal/miring (dominan karena non deposisi).
• Onlap : lapisan yang relatif horisontal berakhir pada permukaan miring atau pengakhiran updip lapisan miring pada permukaan yang lebih miring (dominan karena non deposisi) downlap dan onlap yang kurang dapat dibedakan satu sama lain sering dinamakan sebagai baselap .



Seismic Stratigraphic Surfaces
• Maximum Flooding Surface (MFS) : permukaan yang mencerminkan keadaan maximum transgression (kolom air tinggi maksimum). secara stratigrafi merupakan pengendapan dengan laju yang rendah berupa sedimen pelagic – hemipelagic yang membentuk condensed section. Dari seismik dapat terlihat sebagai permukaan downlap, namun tidak semua permukaan downlap merupakan MFS.
• Sequence Boundary (SB) : Batas sekuen berupa ketidakselarasan atau keselarasan padanannya. Dari seismik ditandai oleh : erosional truncation dan permukaan onlap.
• Transgresive Surface (TS): merupakan awal dari transgresive system track yang memiliki bentuk stacking patern retrogradasi. TS sukar dikaitkan dengan terminasi horizon.
System Tracts
• Lowstand System Tract (LST) : dibatasi SB dibagian bawah dan TS dibagian atas. Merupakan keadaan rising sea level dan high sedimentation sehingga memiliki stacking patern agradasi atau slightly prograde.
• Transgresive System Tract (TST) : berada diatas LST dan dibawah HST, dibatas TS dibagian bawah dan MFS dibagian atas. Menunjukkan keadaan rapid sea level rise dan low sedimentation sehingga menunjukkan stacking patern retrogradasi.
• Highstand System Tract (HST) : berada diatas TST, dibawah LST, dibatasi SB dibagian atas dan MFS dibagian bawah. Menunjukkan keadaan sealevel stand still dan low sedimentation, memiliki stacking patern progradasi.
Tidak semua system tract dapat dijumpai, misalkan LST tidak dijumpai dan diatas TST langsung didapati HST.
Jejak Kuat Refleksi (b), sebagai Envelop Amplitudo dari Jejak Reflektivitas (a)
Jejak Impedansi Akustik pada Gelombang Refleksi

Contoh Hasil Interpretasi Data Seismik Refleksi tsssssssssssssentang
Potensi Bencana Geologi di Selatan Pulau Jawa

















Lampiran :
>> Perbandingan Seismik Refraksi - Seismik Refleksi
Metode Seismik Refraksi (Bias)
Metode Seismik Refleksi (Pantul)
Keunggulan
 
 
Kelemahan
Pengamatan refraksi membutuhkan lokasi sumber dan penerima yang kecil, sehingga relatif murah dalam pengambilan datanya
 
 
Karena lokasi sumber dan penerima yang cukup lebar untuk memberikan citra bawah permukaan yang lebih baik, maka biaya akuisisi menjadi lebih mahal.
Prosesing refraksi relatif simpel dilakukan kecuali proses filtering untuk memperkuat sinyal first berak yang dibaca.
 
 
Prosesing seismik refleksi memerluakn komputer yang lebih mahal, dan sistem data base yang jauh lebih handal.
Karena pengambilan data dan lokasi yang cukup kecil, maka pengembangan model untuk interpretasi tidak terlalu sulit dilakukan seperti metode geofisika lainnya.
 
 
Karena banyaknya data yang direkam, pengetahuan terhadap database harus kuat, diperlukan juga beberapa asumsi tentang model yang kompleks dan interpretasi membutuhkan personal yang cukup ahli.
Kelemahan
 
 
Keunggulan
Dalam pengukuran yang regional , Seismik refraksi membutuhkan offset yang lebih lebar.
 
 
Pengukuran seismik pantul menggunakan offset yang lebih kecil
Seismik bias hanya bekerja jika kecepatan gelombang meningkat sebagai fungsi kedalaman.
 
 
Seismik pantul dapat bekerja bagaimanapun perubahan kecepatan sebagai fungsi kedalaman
Seismik bias biasanya diinterpretasikan dalam bentuk lapisan-lapisan. Masing-masing lapisan memiliki dip dan topografi.
 
 
Seismik pantul lebih mampu melihat struktur yang lebih kompleks
Seismik bias  hanya menggunakan waktu tiba sebagai fungsi jarak (offset)
 
 
Seismik pantul merekan dan menggunakan semua medan gelombang yang terekam.
Model yang dibuat didesain untuk menghasilkan waktu jalar teramati.
 
 
Bawah permukaan dapat tergambar secara langsung dari data terukur



Sabtu, 09 Mei 2009

TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH

TUGAS MATA KULIAH

PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH


OLEH :


M. YUDI SUHENDAR

J1D108010

PROGRAM STUDI FISIKA




DOSEN PENGAMPU :

TOTOK WIANTO, S.Si, M.Si




SoalJawab :


1. Gambarkan siklus hidrologi yang terjadi di daerah Banjarbaru !

Jawaban :

SUNGAI MARTAPURA

WADUK RIAM KANAN


Dari siklus tersebut terlihat bahwa bagian hulu dari siklus hidrologi di. Martapura adalah berada pada daerah Riam Kanan dan berakhir di Sungai Martapura. Siklus Hidrologi ini termasuk siklus sedang. Air di bendungan Riam Kanan menguap menjadi uap gas karena panas matahari. Uap air mengalami sublimasi. Terjadi pembentukan awan dan awan bergerak oleh tiupan angin ke darat. Setelah itu turun hujan, diserap oleh tanaman, masuk ke dalam tanah, disaring oleh tanah dan ada yang mengalir sebagai aliran luar dan dalam tanah, akhirnya sampai sebagai air yang mengalir ke dalam sungai Martapura hingga bermuara ke laut.


2. Jelaskan bagaimana proses salinitas yang terjadi di Banjarbaru!

Jawaban :

Proses salinitas dapat dilakukan dengan meneteskan air muara ke dalam alat ukur refraktometer, kemudian lihat dalam skala berapa nilai yang tertera. Pada musim kemarau, salinitas di Banjarbaru lebih tinggi daripada musim penghujan, tetapi masih dalam keadaan standar untuk daerah daratan. Pada musim penghujan air tawar yang di sungai-sungai Banjarbaru (seperti Sungai Martapura) mengalir menuju laut dalam jumlah yang sangat besar sehingga salinitas air di muara menurun, tetapi pada musim kemarau saat aliran air mulai berkurang, air laut dapat lebih jauh masuk ke daratan sehingga salinitas di muara meningkat. Salinitas air sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan musim. Air asin memiliki massa jenis lebih besar dibandingkan dengan air tawar, sehingga air asin di muara mendorong air tawar yang berada di lapisan bawah menuju laut.

3. Bagaimana bentuk reaksi dari salinitas ?

Jawaban :

Bentuk reaksi dari salinitas adalah jumlah berat semua garamgaram yang terlarut d dalam satu liter air. Garam-garam tersebut terdiri dari natrium klorida ( NaCl ) atau garam dapur, MgCl2 kalium dan kalsium. Sehingga ada tanah yang struktur Na+ yang dominan dan ada struktur tanah Ca+ yang dominan.

4. Bagaimana kira-kira bentuk dari sistem akuifer di Banjarbaru ?

Jawaban :

Bentuk sistem akuifer ditentukan oleh letak sumber air tanah. Sumber air tanah di Banjarbaru terdapat di sekitar lokasi bank BNI 46 di Jalan Ahmad Yani dan mengalir sampai ke sepanjang daerah Amaco. Sumber air tanah dan kedalaman akuifer ini berada di kawasan yang tidak mempunyai air permukaan. Jika di suatu daerah ada air permukaannya, baik itu rawa, sungai, danau, laut, dan sebagainya, maka air tanah tidak terdapat di kawasan itu. Hal ini dikarenakan air tanah memiliki gua di bawah tanah dan mengalir di bawah tanah.

Secara topografi, bagian utara Kabupaten Banjar umumnya dan Kota Banjarbaru khususnya terletak pada dataran rendah yang memiliki ketinggian antara 0 – 10 m, sedangkan wilayah bagian selatan memiliki ketinggian antara 11 – 130 m dari permukaan laut. Dari hasil pengukuran memberikan gambaran bahwa dugaan akuifer berada pada kedalaman dangkal 10-30 meter dari permukaan yang terdiri atas lapisan pasir, akuifer dalam pertama berada pada kedalaman 20 hingga 60 meter, dan akuifer yang lebih dalam lagi diduga terdapat pada kedalaman 40 hingga kedalaman 100 meter yang terdiri atas lapisan pasir tufaan. Ketebalan lapisan akuifer bervariasi bergantung pada topografi permukaan dan lapisan kedap air di bawah lapisan akuifer dengan kecenderungan semakin menebal ke bagian bawah. Dengan estimasi luas daerah yang terlingkupi survey penelitian yakni sebesar 280.000 meter persegi, dan ketebalan rata-rata akuifer sebesar 30 meter.










5. Gambarkan desain pembangkit listrik tenaga pasang surut !

Jawaban :


Di bawah ini adalah beberapa desain pembangkit listrik tenaga pasang surut :


  • Pembangkit Listrik model waduk (dam)



Pembangkit Listrik model kincir