Tampilkan postingan dengan label TUGAS PLLB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TUGAS PLLB. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juni 2009

Tugas Laporan Praktikum Lapangan PLLB Di Kawasan Negara dan Loksado, Pegunungan Meratus

IDENTIFIKASI POTENSI BAHAN LOKAL UNTUK ENERGI TERBARUKAN DI RAWA NEGARA (DANAU BANGKAU) DAN ESTIMASI DAYA DUKUNG ALAM UNTUK HABITAT DI KAWASAN TANGKAPAN AIR SUB DAS AMANDIT

Sebagai wilayah tangkapan air hujan di Kalimantan Selatan, kawasan Pegunungan Meratus merupakan daerah kajian lapangan yang sangat diminati. Selama beberapa tahun terakhir, banyak diadakan agenda penelitian, baik secara individu maupun berkelompok untuk memperoleh informasi mengenai sumber daya yang bisa dimanfaatkan di sana. Terakhir, sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru bertempat di Nagara dan Loksado yang merupakan daerah lahan basah yang terhubung dengan daerah tangkapan air di Pegunungan Meratus.

Negara merupakan ibu kota Kecamatan Daha, Kandangan Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalimantan Selatan. Wilayahnya hampir seluruhnya tertutup oleh air. Sebagai daerah rawa, Nagara merupakan salah satu sudut di cekungan Barito, salah satu cekungan di kawasan Meratus. Di rawa inilah hampir semua sungai yang berhulu di Meratus dan mengalir ke sebelah barat bertemu dalam satu kawasan yang luasnya hampir mencapai satu juta hektar.

Dari segi ekologis, rawa Nagara ini berfungsi menghambat banjir dan luapan sungai-sungai di kawasan daerah tangkapan air Meratus yang menuju muara Sungai Barito. Fauna dan flora di kawasan ini menunjukan kemungkinan adanya berbagai hubungan antara organisme yang tinggal di sana dengan lingkungannnya. Selain itu, kawasan ini juga menjadi wahana bagi masyarakatnya dalam mencari pendapatan. Mereka hidup dari bertani, berkebun dan mengumpulkan hasil hutan serta pekerjaan lainnya. Kompleksnya interaksi yang ada ini membuat masyarakat di sana sangat berperan dalam semua bidang kehidupan mereka dan dalam hubungan dengan lingkungan di kawasan tangkapan air ini.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa kawasan rawa ini telah menjadi habitat yang sangat penting dalam menunjuang kehidupan berbagai organisme. Oleh karena itu, upaya pengelolaan kawasan tentunya perlu dilakukan secara seksama. Untuk itu, diperlukan kajian untuk mengetahui sumber daya apa saja yang dapat dimanfaatkan, di antaranya sebagai energi terbarukan sehingga dapat turut melestarikan lingkungannya dan membuat hubungan masyarakatnya dengan alam semakin akrab.

Sama halnya dengan Nagara, Loksado adalah sebuah desa yang juga terletak di salah satu sudut rangkaian Pegunungan Meratus. Wilayah ini terletak di dataran tinggi yang hampir seluruhnya tertutup padang hutan-hutan kecil. Loksado juga merupakan salah satu daerah tangkapan air yang sangat penting bagi kawasan pantai selatan Kalimantan Selatan. Kawasan ini merupakan contoh dimana hutan masih berperan baik dalam menjaga keseimbangan ekosistem lahan basah dengan disertai intervensi manusia. Lebih khusus, di kawasan ini mengalir Sungai Amandit dengan beberapa anak sungai kecil yang digunakan penduduk untuk keperluan pertanian, perikanan dan kebutuhan domestik. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi, pemerintahan, keamanan, dan keperluan lainnya. Bisa dibilang, sebagaimana rawa Nagara, di kawasan daerah aliran sungai (DAS) ini banyak sekali indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan sekaligus memanfaatkan potensi daerah yang ada.

Fakta lapangan menunjukkan kawasan tangkapan air ini pun menjadi habitat penting yang menunjang kehidupan berbagai organisme. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkannya, perlu upaya pengelolaan yang lebih seksama dengan dukungan inventarisasi jenis data yang sesuai dengan kebutuhan.

1 ). Kawasan Rawa Negara

Kehidupan masyarakat Negara cukup erat kaitannya dengan kondisi alam yang ada di Negara. Kondisi alam di Negara yang lebih dari setengahnya ditutupi oleh air rawa sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan Negara kebanyakan mengandalkan pertanian, menangkap ikan, termasuk juga peternakan dan berdagang.

Untuk rona alamnya, kawasan Negara terbagi dalam dua area besar. Yang pertama terpusatdi daerah sepanjang sungai yang membelah kota, dan yang lainnya adalah daerah rawa yang dikenal sebagai Rawa Bangkau. Untuk daerah di sepanjang bantaran sungai, pemandangan yang mendominasi adalah keberadaan jamban yang menyertai hampir setiap rumah penduduk yang memang banyak bertempat di pinggir sungai. Kondisi ini menyebabkan pemandangan di sepanjang sungai sangat tidak mengenakkan. Ditambah lagi kondisi air sungai yang keruh menyebabkannya tidak aman digunakan, seperti untuk mandi (seperti biasa dilakukan penduduk setempat), terlebih untuk dikonsumsi oleh penduduk. Hal ini tentu mengkhawatirkan. Selain itu, juga banyak ditemui keramba yang digunakan penduduk untuk menangkap ikan. Yang mungkin cukup mengesankan untuk diperhatikan adalah banyaknya aktivitas pelayaran lokal yang dilakukan penduduk dengan memanfaatkan kelotok. Hampir setiap setengh menit, ada saja kelotok yang lewat dengan mengangkut berbagai macam angkutan. Untuk ragam biotik, masih bisa ditemui sejumlah rerumputan di pinggiran sungai dan eceng goondok yang terhanyut bersama aliran air. Juga itik-itik yang dibiarkan berenang dengan bebasnya.

Sementara untuk kawasan Rawa Bangkau, tingkat kejernihan airnya tidak jauh berbeda dengan di sungai, hanya saja baunya yang sudah agak berkurang. Lingkungan biotiknya didominasi dengan banyaknya eceng gondok dengan pola persebaran yang tampak telah "diatur" oleh penduduk setempat sehingga tidak menutupi sebagian besar areal rawa. Langkah ini cukup bijaksana karena dengan dikontrolnya pertumbuhan eceng gondok, kadar oksigen dalam air rawa tetap mendukung kehidupan organisme lain seperti ikan. Fauna lain seperti bebek, kerbau dan burung rawa jiuga banyak ditemui di kawasan ini.





2). Kawasan Sungai Amandit, Tanuhi, Loksado

Loksado merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi yang hampir seluruhnya tertutup padang hutan-hutan kecil. Karakteristik daerah seperti ini mendorong penduduknya untuk lebih menyesuaikan diri. Mata pencaharian mereka yang utama adalah berjualan kebutuhan sehari-hari dan hasil hutan serta turut dalam mendukung pariwisata yang dikelola oleh pemerintah lokal. Untuk rona alamnya, didominasi oleh hutan dengan tanaman yang bervariasi, mulai dari tanaman perdu, paku-pakuan dan tanaman berkayu. Juga aliran sungai Amandit dengan suara gemericik air yang timbul karena alirannya yang cukup deras.

Secara geografis, kawasan ini didominasi oleh Gunung Kantawan yang merupakan pasak tanah Loksado. Gunung ini adalah kawasan hutan lindung seluas 245 ha yang kaya dengan khasanah flora-fauna langka seperti anggrek hutan, bekantan, owa-owa, biawak dan raja udang.

Untuk memenuhi pelayanan masyarakat setempat, fasilitas penting seperti sekolah dan puskesmas sudah ada. Untuk mendukung kelancaran administrasi penduduk lokal dan pendatang, pemerintah setempat menyediakan sejumlah balai desa. Menurut informasi yang kami peroleh, setidaknya ada 43 balai yang tersebar di 9 desa kecamatan Loksado. Yang paling besar adalah Balai Malaris, Balai Haratai, dan Balai Padang.

Kebutuhan rumah tangga seperti minyak tanah dan gas telah akrab digunakan sebagai energi untuk memasak. Sementara air berasal dari ledeng. Menurut Bapak Mawarli, penduduk asli setempat, untuk memenuhi suplai listrik, sebelumnya sempat ada Pembangkit Listrik Tenaga Dalam (PLTD), namun sejak tahun 2007 lalu sudah tidak berjalan lagi. Karena itu, listrik langsung disuplai dari PLTA Asam-Asam yang rentan terjadi pemadaman apabila ada gangguan dalam distribusinya. Sebenarnya dari PLN setempat, pernah ada usaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan energi listrik atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada PLTA Asam-Asam dengan membuat Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di bagian hulu sungai. Namun karena debit airnya tidak mencukupi sehingga pembangkit listrik ini tidak aktif lagi.

Sebagai mahasisiwa yang tengah melakukan observasi, kami sempat melakukan penelitian mengenai seberapa besar debit air yang bisa dibangkitkan oleh aliran Sungai Amandit ini. Cara yang kami gunakan adalah dengan memanfa'atkan cara tradisional, yaitu dengan memakai kayu-kayu lokal yang ada. Kayu-kayu itu ditancapkan satu per satu dengan jarak masing-masing sejauh 1 meter pada air sungai setinggi air yang mengalir hingga selebar sungai tersebut, dari situ kami dapat mengukur luas permukaan air. Setelah mendapatkan luas permukaan air, kemudian mengukur kecepatan air dengan cara melarutkan kertas atau daun (kami menggunakan sandal jepit untuk ini) di atas permukaan air sejauh jarak tertentu dan akhirnya akan didapatkan nilai kececatan aliran air. Debit aliran didapatkan dengan cara mengalikan antara kecepatan alir dengan luas permukaan air yang telah diukur tadi. Berdasarkan hasil perhitungan, kami memperkirakan debit air Sungai amandit tersebut adalah sekitar 1,735 m3/s. Jika dengan bantuan alat, maka didapatkan debit rata-rata sebesar 4,005 m3/s. Adapun koordinat lokasi pengukuran debit air tersebut adalah pada titik 02 47' 18,7" LS dan 115 27' 17,0" BT, dengan ketinggian 118 meter di atas permukaan air laut.




M. Yudi Suhendar....
22 Juni 2009 , 13.30 WITA

Kamis, 11 Juni 2009

SOAL MIDDLE TEST
MATA KULIAH PLLB PROGRAM STUDI FISIKA
RABU, 27 MEI 2009

DOSEN : PAK KRISDIANTO


1.
Dalam siklus hodrologis, lahan basah mempunyai peran penting. Sebutkan dan jelaskan peran tersebut. Berikan penilaian terhadap lahan basah di Kalimantan Selatan, sampai sejauh mana keberadaan peran tersebut?

2. Curah hujan rata-rata tahunan di Meratus 1000 M liter/bulan, 80% menjadi air larian dan masuk ke berbagai sungai, di antaranya 1.800.000 liter/tahun mengalir melalui Sungai Riam Kiwa. Namun dari sungai ini hanya mampu mengairi 100 hektar lahan dengan masing-masing 9000 liter/tahun. Sisanya kembali terevaporasi dan evapotranspirasi. Dengan asumsi yang sama, berapakah peranan vegetasi dalam melakukan evapotranspirasi pada lima sungai lainnya, yakni Sungai Riam Kanan, Sungai Amandit, Sungai Batang Alai, Sungai Alabio, dan Sungai Tabalong jika perbandingan debit airnya sepanjang tahun 1 : 1 : 1 :1 : 1 ? Tentukan juga total transpirasi dan evapotranspirasi jika perbandingannya 1 : 2 !

3. Sebutkan perbedaan antara rawa lebak dan rawa pasang surut!

Sabtu, 30 Mei 2009

MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI

NAMA : M. YUDI SUHENDAR
NIM : J1D108010
PROGRAM STUDI` : S-1 FISIKA

TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH
(MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI, KAITANNYA DENGAN KONSEP FISIKA DAN MENDUKUNG PRINSIP BIOLOGI)

“MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS), KAITANNYA
DENGAN POLA PEMBANGUNAN PEMUKIMAN DAN BANJIR SEBAGAI MASALAH BERKELANJUTAN”

Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. Oleh karenanya, DAS merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DAS mempunyai arti penting terutama dalam hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya sehingga perencanaan pembangunan daerah hulu menjadi sangat penting dalam manajemen DAS secara keseluruhan..
Banjir merupakan permasalahan yang sudah biasa terjadi di DAS. Banjir terjadi akibat adanya perubahan sistem DAS yang kontinu dimulai dari wilayah upstream (hulu) - downstream (bagian tengah) – middlestream (hilir) yang signifikan. Menurut Sinukaban (2007), sebagai contoh adalah banjir yang biasa terjadi di Jakarta adalah karena penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak terserap tanah, tetapi mengalir di permukaan tanah, lalu langsung masuk ke sungai. Sehingga banjir merupakan fenomena yang harus ditangani secara menyeluruh dalam suatu DAS.
Pada kenyataannya, pola tata ruang pada banyak DAS di berbagai wilayah Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan (DAS Barito) memang masih mengalami banyak masalah. Peningkatan alih fungsi lahan menjadi daerah pemukiman semakin meningkat sementara luas kawasan hutan sebagai penyangga DAS semakin terdegradasi dari tahun ke tahun sehingga terjadi konversi lahan yang semakin tinggi. Berdasarkan data terakhir, luas daerah permukiman sub-DAS secara rata-rata semakin meningkat dari tahun 1981 sebesar 5 % dan terakhir tahun 2001 sebesar 27 % (Hermawati, 2006).
Untuk kasus DAS Ciliwung, banyak pendatang, terutama dari Jakarta, yang membangun villa atau rumah peristirahatan di sana. Pembangunan-pembangunan tersebut menyebabkan daerah resapan air berkurang padahal curah hujan di Bogor termasuk tinggi. Selain adanya pembangunan rumah, baik rumah tinggal maupun villa, tingginya biaya hidup menyebabkan wilayah hutan di hulu sungai Ciliwung terancam.
Berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan hutan dan konversi lahan mengakibatkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah namun mengalir deras di batang sungai Ciliwung, dari hulu menuju hilir. Padahal, DAS Ciliwung di daerah hulu tidak terlalu lebar, apalagi jika ditambah dengan adanya penyempitan akibat pembangunan. Maka hal tersebut dapat menyebabkan air hujan meluap ke wilayah sekitar. Akhirnya banjir dan longsor di daerah hulu akan terjadi.
Di sisi lain, teknologi pengairan untuk daerah pemukiman di DAS Ciliwung sudah cukup canggih dengan menggunakan mesin pompa air (jet-pump). Ditambah lagi dengan kondisi pemukiman sangat padat terkonsentrasi di sekitar DAS, bahkan terdapat beberapa orang penduduk yang mendirikan rumah di bantaran sungai akibat semakin terbatasnya lahan untuk pemukiman. Dengan keberadaan pohon-pohon di sekitar DAS hulu Ciliwung wilayah bawah yang semakin sedikit, maka membuat tingkat penyerapan air menjadi buruk karena kepadatan pemukiman dalam bersaing menyerap air tanah yang ada.

DAS BARITO SEMAKIN KRITIS, 13 TITIK BERPOTENSI BANJIR
Sebagai perbandingan, kondisi DAS Barito juga semakin kritis akibat pembalakan hutan dan konversi penutupan lahan yang dulunya hutan menjadi permukiman dan pertambangan. Kondisi ini menyebabkan 13 titik di Kalsel berpotensi banjir. Terlebih saat curah hujan tinggi seperti sekarang ini. Kepala Balai Pengelolaan DAS Barito Kalsel, Eko Kuncoro mengungkapkan, 13 titik tersebut adalah Tabukan (Batola), Amuntai Selatan, Babibrik dan Sungai Pandan (HSU), hampir seluruh wilayah HSS, Kabupaten Banjar, Kintap, Bati-Bati, Pelaihari (Tala), Satui, Kelumpang dan Batulicin (Tanbu), Pulau Laut Selatan dan Pulau Laut Utara (Kotabaru).
Bencana banjir di sebagian wilayah Kalsel termasuk bencana alam yang hampir pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Bencana banjir ini ditentukan oleh banyak hal yang merupakan bagian dari karakteristik wilayah dan masyarakat Kalsel itu sendiri. Pertama, karakteristik DAS dari aspek biogeofisikal yang mampu memberikan ciri khas tipologi DAS tertentu. Kedua, aspek meteorologis-klimatologis, terutama karakteristik curah hujan yang mampu membentuk badai atau hujan maksimum. Ketiga, aspek sosial ekonomi masyarakat, terutama karakteristik budaya yang mampu memicu terjadinya kerusakan lahan DAS, sehingga wilayah DAS tersebut tidak mampu lagi berfungsi sebagai penampung, penyimpan, dan penyalur air hujan yang baik (Kliping WALHI Kalsel, Desember 2008).
Sebagaimana kasus DAS Ciliwung di Jakarta, aktivitas di daerah hulu sering dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Seperti pada DAS Barito, daerah hulunya telah terjadi konversi penutup lahan yang cukup signifikan dari hutan ke tambang. Sehingga air hujan yang jatuh tidak akan ditangkap oleh kanopi dan diresapkan secara perlahan ke dalam tanah, lalu ditampung oleh akar. Tapi air langsung menjadi over land flow atau limpasan karena tanah tambang biasanya dikupas hingga ke batuan induknya (bed rock). Limpasan ini kemudian masuk ke alur sungai. Karena cukup banyak, maka tidak tertampung dan sebagian meluap, sehingga mengakibatkan banjir di beberapa daerah seperti Kabupaten Tabalong, Balangan bahkan hingga Hulu Sungai Utara.
Sebagaimana wilayah Kabupaten Banjar, potensi banjir juga diakibatkan oleh hujan yang turun terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga Waduk Riam Kanan akan semakin penuh. Guna menghindari jebolnya waduk yang cukup dimakan usia tersebut, dibukalah pintu-pintu air di daerah bawahnya. Akibatnya, Kecamatan Karang Intan dan Martapura akan tergenang, karena badan sungai tidak mampu menampung air tersebut (klipinglainnya.blogspot.com).
Sedangkan di Tanah Bumbu dan Tanah Laut, banjir berpotensi akibat adanya arus pasang air laut, sehingga air sungai dari hulu tidak akan lancar atau terhambat di muara sungai. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab bencana banjir di dearah ini.
Di Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan, ancaman banjir disebabkan Sungai Negara yang merupakan salah satu anak Sungai Barito telah mengalami pendangkalan yang cukup signifikan, sehingga kurang mampu lagi menampung air dari daerah hulu. Hal ini menyebabkan HSU dan sekitarnya akan tergenang bila sungai ini meluap.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kliping WALHI Kalsel : DAS Barito Semakin Kritis, 13 Titik Berpotensi Banjir@ klipinglainnya.blogspot.com, diakses 27 Mei 2009.

Hermawati R. 2006. Pola Spasial Perkembangan Permukiman dan Kaitannya Dengan Jumlah Penduduk (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selasa, 26 Mei 2009

Foto-foto dan Citra Satelit via Google Earth (pelengkap tugas mata kuliah PLLB, deskripsi lahan basah)






























TUGAS PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH (DESKRIPSI LAHAN BASAH)

NAMA : M. YUDI SUHENDAR
NIM : J1D108010
PROGRAM STUDI : FISIKA
E-MAIL : YUDI.FISIKA@GMAIL.COM

TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH
DOSEN PENGASUH : PAK KRISDIANTO
BLOG : http://kgroup-center.blogspot.com

PULAU KAGET, GAMBARAN DAN HARAPAN FUNGSI LAHAN BASAH SEBAGAI DAERAH CAGAR ALAM

Pulau Kaget merupakan sebuah delta yang luasnya kurang lebih 200 ha dan terletak di muara Sungai Barito. Sebagian dari pulau ini (yaitu 85 ha) ditetapkan menjadi Cagar Alam (CA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 701/Kpts/Um/11/1976 tanggal 6 Nopember 1976 jo. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 337/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999. Dengan penetapan ini, CA Pulau Kaget merupakan salah satu dari 3 cagar alam di Provinsi Kalimantan Selatan (catatan: cagar alam lainnya adalah CA Gunung Kentawan dan CA Teluk Kelumpang, Selat Laut, Selat Sebuku).
Kawasan ini secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Barito Kuala, Kecamatan Tabunganen. Waktu tempuh dari Kota Banjarmasin menuju lokasi adalah ± 15 menit dengan memakai transportasi air (speed boat), atau ± 1,5 jam dengan memakai trasportasi air (kelotok). Secara astronomis, Pulau Kaget terletak pada koordinat 114°29’55” - 114°30’40” BT, 3°25’12” - 3°26’00” LS. Secara geografis, daerah ini mencakup wilayah seluas 85 ha atau 850.000 m2 dihitung dari garis pantai sampai pemukiman. Secara umum, kondisi fisik kawasan ini dapat dirincikan sebagai berikut.
Topografi : Datar.
Ketinggian : 0 m di atas permukaan laut.
Tanah : Aluvial dengan tekstur tanah umum halus (liat).
Geologi : Batuan dasar berbentuk dari cekungan dari batuan metamorf, permukaan ditutupi oleh kerakal, kerikil, pasir dan lempung.
Tipe iklim : B (Tipe iklim Schmidt dan Ferguson).
Curah hujan : 2.185 mm/tahun (rata-rata).
Kelembaban : 83 % (rata-rata).
Temperatur : 27 ° C (rata-rata).
Sebagai kawasan cagar alam, Pulau Kaget memiliki beberapa jenis pohon dan tumbuhan seperti:
1.Rambai (Soneratia casiolaris)
2.Bakau (Rhizophora Sp.)
3.Api-api (Avicenia Sp.)
4.Nipah (Nipa fraticans)
5.Bakung (Crinum asiaticum)
6.Piai (Acrosticum aureum)
7.Jeruju (Achantus ilicifolius)
8.Pandan (Pandanus tectorius)
Jenis pohon yang paling dominan ialah Rambai dengan Indeks Nilai Penting (INP) 45,1898%, Bakau dan Api-api dengan INP masing-masing 1.6232% (dominan). Binatang yang menghuni Kawasan Cagar Alam Pulau Kaget terdiri dari 10 (sepuluh) jenis yang tergolong dalam dua kelas yaitu:
1.Mamalia :
a.Bekantan (Nasalis larvatus)
b.Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
c.Lutung (Presbitis cristata)
2.Aves :
a.Betet (Psittacula alexandri)
b.Elang Bondol (Haliadus indus)
c.Raja Udang (Halcyon choris)
d.Elang Laut (Inchthyophaga inchtyootus)
e.Burung Kipas (Rhipidura javanica)
f.Trucukan (Pynonotus goiavier)
g.Raja Udang Paruh Bangau (Pelargopsis capensis)
h.Bebek (Denrocygna arcuata)
Sebelum tahun 1995, vegetasi CA Pulau Kaget didominasi oleh rambai (Sonneratia caseolaris), salah satu tumbuhan mangrove yang akarnya mencuat vertikal dari permukaan tanah. Karena daun dan buah rambai merupakan pakan utama bagi bekantan (Nasalis larvatus), tidak mengherankan apabila kemudian CA Pulau Kaget dikenal sebagai surganya bekantan.
Pulau Kaget dan bekantan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan serta menjadi merek dagang Kalimantan Selatan dalam kepariwisataan internasional. Primata berhidung mancung dan endemik Borneo ini mudah sekali dijumpai. Apabila menyusuri pulau dengan klotok (perahu bermotor), kita dengan mudah menyaksikan perilaku alami bekantan, seperti makan daun dan buah rambai, tidur di atas cabang atau ranting, berloncatan dari satu dahan ke dahan lain, atau bahkan terjun dari ketinggian 15 m ke permukaan tanah atau air.
Keadaan demikian berubah sama sekali, setelah peranggasan rambai terjadi. Hampir semua rambai yang tumbuh di daratan dan tepian cagar alam mati. Pemandangan alami menjadi membosankan. Yang tampak dominan adalah pepohonan rambai yang kering kerontang. Walaupun populasi bekantan mencapai 304 ekor (Soendjoto et al., 1998a), perilaku khasnya berangsur-angsur tidak bisa dinikmati. Bekantan ini hanya dapat dijumpai di lantai hutan. Akibatnya, industri kepariwisataan Kalimantan Selatan pun anjlok.
Terdapat dua faktor yang diduga menjadi penyebab peranggasan, yaitu musim kemarau yang panjang dan pencemaran air dari berbagai industri yang ada di sepanjang Sungai Barito. Namun, Soendjoto et al. (1998b) menyatakan bahwa penyebab peranggasan tanaman rambai adalah kelebihan populasi (overpopulation) primata dan sekaligus ketidakmampuan rambai untuk memulihkan diri.
Kompilasi data oleh Soendjoto et al. (1998b) menunjukkan adanya peningkatan populasi bekantan. Pada tahun 1984 terdapat 229 ekor bekantan, pada tahun 1992 terdapat 207 ekor, dan pada tahun 1997 terdapat 304 ekor. Pada tahun 1997 ini tercatat juga primata lain, yaitu lutung Trachypithecus cristatus sebanyak 78 ekor dan monyet ekor panjang Macaca fascicularis 22 ekor (Soendjoto et al., 1998a). Apabila jumlah pakan bekantan 900 g/hari (Soerianegara et al., 1994) dan diasumsikan jumlah pakan kedua primata lainnya sama dengan jumlah pakan bekantan ini, maka jumlah pakan bagi semua primata yang ada di Pulau Kaget adalah 363,6 kg/hari.
Tampaknya jumlah pakan ini tidak dapat dicukupi oleh rambai. Masalahnya, hijauan rambai yang tersedia paling sedikit harus dua kali lipat (atau sekitar 730 kg/hari). Pada sisi lain, rambai yang ada di Pulau Kaget tidak dapat pulih dengan cepat karena adanya gangguan dan masalah fisiologi lainnya (Soendjoto et al., 1998b). Akar rambai terganggu, karena dipotong oleh masyarakat untuk diolah jadi bonggol kok dan tutup botol. Pernafasan oleh akar terhambat, karena adanya penutupan oleh eceng gondok dan lumpur yang semakin menumpuk. Rambai tidak mampu bersaing dengan tumbuhan bawah air untuk memperoleh unsur hara.
Tumbuhan bawah air yang mulai mendominasi daratan CA Pulau Kaget antara lain adalah piai (Acrostichum aureum), nipah, dan bakung (Crinium asiaticum). Umur rambai sudah tua dan peregenerasian tampaknya tidak normal. Di cagar alam ditemukan 51,05% populasi rambai tingkat semai, 1,81% tingkat pancang, 1,70% tingkat tiang, dan sekitar 45% rambai yang berumur 20 tahun ke atas. Semua rambai tingkat semai ini pun hanya tumbuh di tepi cagar alam yang langsung berbatasan dengan air Sungai Barito.
Untuk menyelamatkan bekantan, Departemen Kehutanan mengambil langkah tegas. Pada akhir tahun 1998 sekitar 150 ekor bekantan dievakuasi ke Pulau Jawa (Kebun Binatang Surabaya) dan ke pulau-pulau di Sungai Barito (Pulau Bakut, Pulau Kembang, Pulau Tempurung).
Pada saat ini, perubahan ke arah positif mulai tampak. Walaupun di daratan CA Pulau Kaget tidak dijumpai lagi pepohonan rambai, di sepanjang tepi pulau mulai dari bagian utara, barat, selatan hingga tenggara terlihat pepohonan rambai yang mulai menghijau. Terdapat lebih dari 20 pohon rambai berdiameter di atas 20 cm. Rambai-rambai yang 8 atau 9 tahun lalu masih berada pada tingkat semai kini bertumbuh dan berkembang ke tingkat pancang (tinggi lebih dari 1,5 m) atau tingkat tiang (berdiameter sekitar 10 cm).
Harapan ini tentunya harus mulai disikapi bijaksana. Pertumbuhan rambai yang menggembirakan masih belum bisa disepadankan dengan harapan terhadap kelestarian bekantan. Apakah pepohonan rambai sudah mampu mendukung kelompok bekantan ini? Dan apakah bekantan yang dievakuasi perlu dikembalikan untuk membugarkan populasi yang tersisa di Pulau Kaget atau untuk menghindari terjadinya kawin antar-kerabat dekat (inbreeding)?

Daftar Pustaka :

M. Arief Soendjoto. 2004. Pulau Kaget Mulai Bersemi, Warta Konservasi Lahan Basah Vol.12 No. 3 Juli 2004. Wetlands Internasional : 5-8

Soendjoto, M.A., A. Yamani, M. Akhdiyat & Kurdiansyah. 1998a. Populasi Primata dan Keanekaragaman Jenis Satwa di Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae (50) : 1-9

Soendjoto, M.A., A. Yamani, M. Akhdiyat & Kurdiansyah. 1998b. Telaahan Vegetasi dan Keadaanb Rambai (Sonneratia caseolaris) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae (49) : 51-62

Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra & M. Bismark. 1994. Studi Habitat, Sumber Pakan, dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai Parameter Ekologi dalam Mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat Hutan Mangrove di Taman Nasional Kutai. Bogor: Laporan Akhir Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB.